BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Penyakit hipertensi pada kehamilan
berperan besar dalam morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal.
Hipertensi diperkirakan menjadi komplikasi sekitar 7-10% dari kejadian
kehamilan, dengan setengah sampai duapertiganya didiagnosis mengalami
preeklampsia atau eklampsia (Poole, 2004). Lebih dari satu dasawarsa terakhir
ini, kematian ibu melahirkan menempati urutan utama masalah kesehatan di
Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan tetapi tingkat kematian ibu
melahirkan masih tetap tinggi. Menurut Azwar, angka kematian ibu melahirkan di
Indonesia yaitu sebanyak 334 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab kematian ibu
melahirkan, sebagian besar disebabkan oleh pendarahan 40-60%, toksemia
gravidarum (preeklampsia dan eklampsia) 30-40% dan infeksi 20-30% (Maryunani
dan Yulianingsih, 2009). Kematian ini umumnya dapat dicegah bila komplikasi
kehamilan dan resiko tinggi lainnya dapat dideteksi sejak dini, kemudian
mendapatkan penanganan yang tepat dan adekuat pada saat yang paling kritis
yaitu pada masa sekitar persalinan. Preeklampsia dan eklampsia menempati urutan
kedua penyebab kematian ibu sedangkan yang pertama adalah pendarahan. Oleh
karena itu diagnosis dini preeklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan
eklampsia, serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka
kematian ibu dan anak (Maryunani dan Yulianingsih, 2009).
Preeklampsia merupakan penyakit
hipertensi yang khas dalam kehamilan, yaitu dengan tekanan darah ≥140/90 mmHg
sesudah 20 minggu masa kehamilan dengan proteinuria. Preeklampsia berbeda
dengan hipertensi kronik. Hipertensi kronik yaitu terjadi sebelum 20 minggu
masa kehamilan. Wanita yang mengalami hipertensi kronik sebelum hamil dapat
berubah menjadi preeklampsia (Dipiro, dkk, 2000).
Menurut Pedoman dan Diagnosis
Terapi RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2007 obat yang digunakan
untuk penanganan preeklampsia berat antara lain antihipertensi (nifedipin) dan
antikejang (magnesium sulfat), sedangkan untuk preeklampsia ringan digunakan
methyldopa (Anonim, 2007). Antihipertensi yaitu untuk menormalkan tekanan darah
sehingga mencegah terjadinya komplikasi penyakit lain sedangkan antikejang
digunakan untuk mencegah terjadinya kejang sehingga bisa meminimalkan
terjadinya eklampsia (preeklampsia yang disertai kejang) (POGI, 2005).
Menurut Larasantya (2004) pada
penelitian tentang evaluasi penggunaan obat pada pasien preeklampsia di
instalasi rawat inap rumah sakit DR. Sardjito Yogyakarta periode
Januari-Desember 2004 menunjukkan bahwa penggunaan obat pada pasien
preeklampsia ringan meliputi magnesium sulfat, deksametason dan diazepam.
Sedangkan preeklampsia berat meliputi magnesium sulfat, deksametason,
nifedipin, metildopa, furosemid, asetosal dan diazepam. Pada kesesuaian
penggunaan obat preeklampsia berat tanpa penyakit penyerta sebesar 68,85% tepat
obat, 64,24% tepat pasien, dan 50,36% tepat dosis. Sedangkan kesesuaian
penggunaan obat pada preeklampsia berat dengan penyakit penyerta 88,46% tepat
obat, 71,45% tepat pasien, 33,48% tepat dosis (Larasantya, 2004).
Pemilihan obat selama masa kehamilan
harus lebih diperhatikan karena dapat menyebabkan efek yang tidak dikehendaki
pada janin (Anonima, 2006) sehingga perlu adanya peresepan yang rasional yaitu
sesuai dengan diagnosis penyakitnya, dosis dan lama pemakaian obat yang sesuai
dengan kebutuhan pasien serta biaya yang serendah mungkin (Zaman, 2001).
Penggunaan obat saat hamil harus
dipilih obat yang paling aman dan obat harus diresepkan pada dosis efektif yang
terendah untuk jangka waktu pemakaian sesingkat mungkin. Sebisa mungkin
menghindari dan meminimalkan penggunaan segala jenis obat selama kehamilan
kecuali jika manfaat yang diperoleh ibu lebih besar dibanding resiko pada
janin. Selama trimester pertama, sebagian obat dapat beresiko besar menyebabkan
cacat lahir sedangkan selama trimester dua dan tiga, obat dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan secara fungsional pada janin atau dapat meracuni
plasma (Anonima, 2006).
Rumah sakit yang dipilih untuk
penelitian ini adalah RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten karena di rumah
sakit ini dari tahun 2008 ke 2009 kasus preeklampsia mengalami peningkatan yang
sangat banyak yaitu pada tahun 2008 jumlahnya 57 kasus sedangkan pada tahun
2009 sekitar 140 kasus, selain itu pada tahun 2009 angka kematian pada janin
sebanyak 2,86%.
Berdasarkan hal tersebut, untuk
meninjau keamanan suatu terapi maka perlu dilakukan suatu evaluasi
penatalaksanaan terapi pada pasien preeklampsia berdasarkan standar pengobatan
yang ada.
B. Perumusan
Masalah
1. Bagaimana
gambaran pengobatan pada pasien preeklampsia rawat inap di RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten?
2. Apakah
penggunaan obat antihipertensi dan antikejang pada pasien preeklampsia rawat
inap di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten memenuhi kriteria tepat indikasi,
pasien, jenis obat dan dosis?
C. Tujuan
Penelitian
Tujuan Penelitian ini
adalah:
1. Mengetahui
gambaran pengobatan pada pasien preeklampsia rawat inap di RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten.
2. Mengevaluasi
penggunaan obat antihipertensi dan antikejang pada preeklampsia rawat inap di
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten yang memenuhi kriteria tepat indikasi,
pasien, jenis obat dan dosis.
D. Tinjauan
Pustaka
1. Preeklampsia
Preeklampsia adalah penyakit
hipertensi yang khas dalam kehamilan biasanya timbul sesudah minggu ke-20
dengan gejala utama hipertensi yang akut pada wanita hamil dan wanita dalam
nifas sedangkan gejala lainnya antara lain edema dan proteinuria. Kadang-kadang
hanya hipertensi dengan proteinuria atau hipertensi dengan edema
(Martaadisoebrata, dkk, 2004).
a. Gejala-gejala:
1) Hipertensi
Gejala yang timbul pertama
kali adalah hipertensi yang terjadi tiba-tiba. Wanita hamil dikatakan
hipertensi apabila tekanan sistolik ≥140 mmHg atau kenaikan 30 mmHg diatas
tekanan biasanya. Tekanan diastolik ≥90 mmHg atau kenaikan 15 mmHg di atas
tekanan biasanya.
2) Edema
Gejala edema timbul
dengan didahului penambahan berat badan yang berlebihan. Penambahan berat ½ kg
seminggu pada ibu hamil dianggap normal, tetapi jika mencapai 1 kg seminggu
atau 3 kg dalam sebulan, kemungkinan timbulnya preeklampsia perlu diwaspadai.
Penambahan berat badan secara tiba-tiba ini disebabkan oleh retensi air dalam
jaringan dan kemudian terjadilah edema. Edema ini tidak hilang dengan
istirahat.
3) Proteinuria
Sering ditemukan pada
preeklampsia yang dikarenakan adanya vasospasme pembuluh-pembuluh darah ginjal.
4) Gejala-gejala
subjektif yang umum ditemukan pada preeklampsia, yaitu sakit kepala yang hebat
karena vasospasme atau edema otak, sakit ulu hati dan gangguan penglihatan
seperti penglihatan menjadi kabur bahkan bisa menjadi buta (Martaadisoebrata, dkk,
2004).
b. Etiologi
Penyebab timbulnya
preeklampsia pada ibu hamil belum diketahui secara pasti, tetapi pada umumnya
disebabkan oleh vasospasme arteriola (Maryunani, 2009). Faktor risiko
yang berkaitan dengan perkembangan preeklampsia : riwayat keluarga yang pernah
mengalami preeklampsia atau eklampsia, penyakit ginjal dan hipertensi yang
sudah ada sebelum hamil dan obesitas (Prawirohardjo, 2008). Preeklampsia dan
eklampsia lebih banyak terjadi pada primigravida, hamil ganda dan mola
hidatidosa. Kejadiannya semakin meningkat dengan semakin tuanya umur kehamilan
dan gejala-gejala penyakit berkurang bila terjadi kematian janin (Manuaba,
1998).
c. Patofisiologi
Pada preeklampsia
terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Pada
biopsi ginjal ditemukan spasme hebat arteriola glomerulus. Pada beberapa kasus,
lumen arteriola sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat dilalui oleh satu sel
darah merah. Jadi jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka
tekanan darah akan naik sebagai usaha untuk mengatasi tekanan perifer agar
oksigenasi jaringan dapat dicukupi. Sedangkan kenaikan berat badan dan edema
yang disebabkan oleh penimbunan air yang berlebihan dalam ruangan interstitial
belum diketahui sebabnya, mungkin karena retensi air dan garam. Proteinuria
dapat disebabkan oleh spasme arteriola sehingga terjadi perubahan pada
glomerulus (Mochtar, 1998).
d. Penyulit
pada preeklampsia
Penyulit pada
preeklampsia meliputi penyulit pada ibu dan penyulit pada janin. Penyulit pada
ibu antara lain: 1) sistem syaraf pusat (perdarahan intrakranial,
hipertensi ensefalopati, edema serebri, edema retina dan kebutaan),
2) gastrointestinal-hepatik (pecahnya kapsul hepar), 3) Ginjal (gagal
ginjal akut, nekrosis tubular akut), 4) kardiopulmonar (edema paru, iskemia
miokardium). Penyulit yang dapat terjadi pada janin ialah intrauterine fetal
growth restriction, solusio plasenta dan kematian janin (Prawirohardjo, 2008).
e. Penanganan
preeklampsia
Gambar
1. Penanganan preeklampsia Ringan berdasarkan buku pedoman pengelolaan
hipertensi dalam kehamilan di Indonesia Tahun 2005. (POGI,
2005)
Ibu hamil dengan preeklampsia ringan
dapat dilakukan rawat inap maupun rawat jalan. Pada rawat jalan ibu hamil
dianjurkan banyak istirahat (tidur miring ke kiri). Pada umur kehamilan diatas
20 minggu tidur dengan posisi miring dapat menghilangkan tekanan rahim pada vena
kava inferior yang mengalirkan darah dari ibu ke janin, sehingga
meningkatkan aliran darah balik dan akan menambah curah jantung. Hal ini
berarti pula meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital. Penambahan aliran
darah ke ginjal akan meningkatkan laju filtrasi glomerolus dan meningkatkan
diuresis sehingga akan meningkatkan ekskresi natrium, menurunkan reaktivitas
kardiovaskuler, sehingga mengurangi vasospasme. Peningkatan curah jantung akan meningkatkan
pula aliran darah ke rahim, menambah oksigenasi plasenta dan memperbaiki
kondisi janin dan rahim. Pada preeklampsia tidak perlu dilakukan retriksi garam
jika fungsi ginjal masih normal. Diet yang mengandung 2 g natrium atau 4-6 g
NaCl (garam dapur) adalah cukup. Diet diberikan cukup protein, rendah
karbohidrat, lemak dan garam secukupnya. Tidak diberikan obat-obatan diuretik,
antihipertensi dan sedatif (Prawirohardjo, 2008).
Pada keadaan tertentu ibu hamil dengan
preeklampsia ringan perlu dirawat di rumah sakit yaitu dengan kriteria bila
tidak ada perbaikan yaitu tekanan darah, kadar proteinuria selama lebih dari 2
minggu dan adanya satu atau lebih gejala dan tanda preeklampsia berat. Selama
di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorik.
Pemeriksaan kesejahteraan janin, berupa pemeriksaan USG dan Doppler khususnya
untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan amnion (Prawirohardjo,
2008).
Perawatan obstetrik yaitu sikap
terhadap kehamilan. Menurut Williams, kehamilan preterm ialah kehamilan antara
22 sampai ≤37 minggu.
Pada umur kehamilan <37 minggu bila
tanda dan gejala tidak memburuk, kehamilan dapat dipertahankan sampai aterm
tapi jika umur kehamilan >37 minggu persalinan ditunggu sampai timbul onset
persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada
taksiran tanggal persalinan dan tidak menutup kemungkinan dapat dilakukan
persalinan secara spontan (Prawirohardjo, 2008).
Preeklampsia
Berat
Gambar
2. Penanganan preeklampsia berat berdasarkan buku pedoman pengelolaan
hipertensi dalam kehamilan di Indonesia Tahun 2005
(POGI,
2005)
Pengelolaan preeklampsia berat
mencakup pencegahan kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan,
pelayanan supportif terhadap penyulit organ yang terlibat dan saat yang tepat
untuk persalinan. Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit
untuk rawat inap dan dianjurkan tidur miring ke kiri. Pengelolaan cairan pada
preeklampsia bertujuan untuk mencegah terjadinya edema paru dan oliguria.
Diuretikum diberikan jika terjadi edema paru dan payah jantung (Anonim, 2005).
Diuretikum yang dipakai adalah
furosemid. Pemberian diuretikum secara rutin dapat memperberat hipovolemi,
memperburuk perfusi utero-plasenta, menimbulkan dehidrasi pada janin, dan
menurunkan berat janin. Antasida digunakan untuk menetralisir asam lambung
sehingga bila mendadak kejang dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung
(Prawirohardjo, 2008).
Pemberian obat antikejang pada
preeklampsia bertujuan untuk mencegah terjadinya kejang (eklampsia). Obat yang
digunakan sebagai antikejang antara lain diazepam, fenitoin, MgSO4. Berdasarkan
buku Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Tahun
2007, antikejang yang digunakan adalah MgSO4 yaitu dengan pemberian dosis awal 8
gram IM (4 gram bokong kanan dan 4 gram bokong kiri) dengan dosis lanjutan
setiap 6 jam diberikan 4 gram (Anonim, 2007).
Saat ini magnesium sulfat tetap
menjadi pilihan pertama untuk antikejang pada preeklampsia atau eklampsia.
Pemberian magnesium sulfat dapat menurunkan risiko kematian ibu dan didapatkan
50% dari pemberiannya menimbulkan efek flusher (rasa panas). Syarat
pemberian MgSO4 yaitu reflek patella normal, frekuensi pernapasan >16
kali per menit, harus tersedia antidotum yaitu Kalsium Glukonat 10% (1 gram
dalam 10 cc) diberikan intravena 3 menit. Pemberian MgSO4 harus dihentikan jika
Terjadi intoksikasi maka diberikan injeksi Kalsium Glukonat 10% (1 gram dalam
10 cc) dan setelah 24 jam pasca persalinan (Anonim, 2007). Bila terjadi
refrakter terhadap pemberian MgSO4 maka bisa diberikan tiopental sodium, sodium
amobarbital, diazepam atau fenitoin (Prawirohardjo, 2008).
Penentuan batas tekanan darah untuk
pemberian antihipertensi masih bermacam-macam, menurut POGI Antihipertensi
diberikan jika desakan darah ≥180/110 mmHg atau MAP ≥126. Jenis antihipertensi
yang diberikan adalah nifedipine 10-20 mg peroral, dosis awal 10 mg, diulangi
setelah 30 menit, dosis maksimumnya 120 mg dalam 24 jam. Desakan darah
diturunkan secara bertahap, a) penurunan awal 25% dari desakan sistolik, b)
desakan darah diturunkan mencapai <160/105 mmHg atau MAP <125 (POGI,
2005). Sedangkan menurut buku pedoman diagnosis dan terapi RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro
Klaten Tahun 2007, antihipertensi pada preeklampsia berat diberikan jika
tekanan darah ≥160/110 mmHg. Jenis antihipertensi yang diberikan adalah
nifedipin, jika tekanan darah ≥140/90 mmHg sd <160/110 mmHg diberikan
antihipertensi methyldopa jika pasien mengalami edma paru, payah jantung
kongesif, edem anasarka diberikan obat golongan diuretikum (Anonim, 2007).
Jenis
antihipertensi lain yang dapat diberikan adalah:
a)
Hidralazin: dimulai dengan 5 mg
intravena atau 10 mg intramuskuler, jika tekanan darah tidak terkontrol
diulangi tiap 20 menit, jika tidak berhasil dengan 20 mg dosis 1 kali pakai
secara intravena atau 30 mg intramuskuler dipertimbangkan penggunaan obat lain.
Mekanisme kerjanya dengan merelaksasi otot pada arteriol sehingga terjadi
penurunan tahanan perifer. Jika diberikan secara intravena efeknya terlihat
dalam 5-15 menit. Efek sampingnya adalah sakit kepala, denyut jantung cepat dan
perasaan gelisah, hidralazin termasuk dalam kategori C (keamanan penggunaannya
pada wanita hamil belum ditetapkan)
b) Labetalol:
termasuk dalam beta bloker, mekanismenya menurunkan tahanan perifer dan tidak
menurunkan aliran darah ke otak, jantung dan ginjal. Obat ini dapat diberikan
secara peroral maupun intravena yang dimulai dengan 20 mg secara intravena,
jika efek kurang optimal diberikan 40 mg 10 menit kemudian, penggunaan maksimal
220 mg, jika level penurunan tekanan darah belum dicapai obat dihentikan dan dipertimbangkan
penggunaan obat lain, “dihindari pemberian Labetalol untuk wanita dengan asma
atau gagal jantung kongestif” (Anonim, 2000), jika diberikan secara intravena
efeknya terlihat dalam 2-5 menit dan mencapai puncaknya setelah 15 menit, obat
ini bekerja selama 4 jam (Roeshadi, 2006). Labetalol termasuk dalam kategori C
(keamanannya pada wanita hamil belum ditetapkan).
c)
Beta-bloker (Atenolol, Metoprolol,
Nadolol, Pindolol, Propranolol), obat-obat tersebut berhubungan dengan
peningkatan insiden dari kemunduran intrauterine fetalgrowth dan tidak
direkomendasikan untuk penggunaan jangka panjang pada kehamilan, dosis
Propranolol biasa digunakan >160 mg/hari (Saseen dan Carter, 2005).
2. Pengobatan
Rasional
Obat didefinisikan sebagai senyawa
yang digunakan untuk mencegah, mengobati, mendiagnosis penyakit/gangguan atau
menimbulkan suatu kondisi tertentu (Setiawati, dkk, 2007). Obat akan disebut
sebagai obat jika pemakaiannya tepat, jadi bila digunakan salah dalam
pengobatan atau dengan dosis berlebih akan menimbulkan keracunan sedangkan bila
dosisnya lebih kecil tidak akan diperoleh penyembuhan (Anief , 2000).
Dosis merupakan aturan pemakaian
yang menunjukkan jumlah gram atau volume dan frekuensi pemberian obat untuk
dicatat sesuai dengan umur dan berat badan pasien (Anonimb, 2006), kecuali jika
dinyatakan lain maka yang dimaksud dengan dosis obat adalah sejumlah obat yang
memberikan efek terapeutik pada penderita dewasa; juga disebut dosis lazim atau
dosis terapeutik. Bila dosis obat melebihi dosis terapeutik bisa menyebabkan keracunan,
dinyatakan sebagai dosis toksik sehingga dapat sampai mengakibatkan kematian
yang disebut sebagai dosis letalis. Dosis obat yang diberikan kepada penderita
dipengaruhi oleh beberapa faktor: a) faktor obat b) cara pemberian obat c)
karakteristis penderita (Joenoes, 2001). World Health Organization 1989
penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerimaobat yang sesuai dengan
kebutuhannya, untuk periode yang adekuat dan dengan harga terjangkau untuk
masyarakat (Anonimc, 2006). Agar tercapai tujuan pengobatan yang efektif, aman
dan ekonomis, maka pemberian obat harus memenuhi prinsip-prinsip farmakoterapi
sebagai berikut :
1) Tepat
indikasi yaitu pemilihan obat sesuai dengan kebutuhan klinis yang dilihat dari
diagnosis serta keluhan pasien.
2) Tepat
pasien yaitu pemilihan obat sesuai dengan kondisi pasien.
3) Tepat
obat yaitu pemilihan obat merupakan drug of choice untuk penyakit tersebut.
4) Tepat
dosis meliputi kesesuaian besar dosis, frekuensi pemberian dan durasi.
Ketepatan dosis ini sangat dipengaruhi oleh kondisi pasien antara lain tentang
riwayat penyakit yang pernah diderita.
5) Informasi
untuk pasien secara tepat yaitu dengan memberitahu efek samping obat, cara
pemakaian dan informasi tambahan lainnya yang perlu disampaikan kepada pasien.
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam
menunjang keberhasilan terapi.
6) Evaluasi
dan tindak lanjut secara tepat antara lain dengan dilakukan monitoring terhadap
pasien (Anonim, 2000).
Dampak
penggunaan obat yang tidak rasional sangat beragam dan bervariasi tergantung
dari ketidak rasionalan penggunaannya. Dampak ketidakrasionalan penggunaan obat
dapat meliputi :
1) Dampak
pada mutu pengobatan dan pelayanan Salah satu dampak penggunaan obat yang tidak
rasional adalah peningkatan angka morbiditas dan mortalitas penyakit. Sebagai
contoh: penderita diare akut non spesifik umumnya mendapat antibiotik, sementara
pemberian oralit (yang lebih dinjurkan) umumnya kurang banyak dilakukan.
2) Dampak
terhadap biaya pengobatan
3) Penggunaan
obat tanpa indikasi yang jelas atau pemberian obat yang sama sekali tidak
memerlukan terapi obat. Hal ini merupakan suatu pemborosan dan sangat membebani
pasien. Peresepan obat yang mahal padahal ada alternatif obat yang lain dengan
manfaat serta keamanan yang sama dan harga lebih murah.
4) Dampak
terhadap kemungkinan efek samping
5) Dampak
terhadap mutu kesediaan obat (Anonimc, 2006)
3. Rekam
Medis
Definisi rekam medis
menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik adalah berkas yang
berisikan catatan dan dokumen tentang identitas, anamnesis, pemeriksaan,
diagnosis, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang diberikan kepada seorang
penderita selama dirawat di rumah sakit, baik rawat jalan maupun rawat tinggal
(Siregar dan Amalia, 2003).
1) Manfaat
Rekam Medis
Manfaat rekam medis
antara lain:
a) Pengobatan
Pasien
Rekam medis bermanfaat
sebagai dasar dan petunjuk untuk merencanakan dan menganalisis penyakit serta
merencanakan pengobatan, perawatan dan tindakan medis yang harus diberikan
kepada pasien.
b) Peningkatan
Kualitas Pelayanan
Membuat rekam medis
bagi penyelenggaraan praktik kedokteran dengan jelas dan lengkap akan
meningkatkan kualitas pelayanan untuk melindungi tenaga medis dan untuk
pencapaian kesehatan masyarakat yang optimal.
c) Pendidikan
dan Penelitian
Rekam medis yang
merupakan informasi perkembangan kronologis penyakit, pelayanan medis,
pengobatan dan tindakan medis, bermanfaat untuk bahan informasi bagi
perkembangan pengajaran dan penelitian dibidang profesi kedokteran.
d) Pembiayaan
Berkas rekam medis
dapat dijadikan petunjuk dan bahan untuk menetapkan pembiayaan dalam pelayanan
kesehatan pada sarana kesehatan. Catatan tersebut dapat dipakai sebagai bukti
pembiayaan kepada pasien.
e) Statistik
Kesehatan
Rekam medis dapat
digunakan sebagai bahan statistik kesehatan, khususnya untuk mempelajari
perkembangan kesehatan masyarakat dan untuk menentukan jumlah penderita pada penyakit-penyakit
tertentu.
f) Pembuktian
Masalah Hukum, Disiplin dan Etik
Rekam medis merupakan
alat bukti tertulis utama, sehingga bermanfaat dalam penyelesaian masalah
hukum, disiplin dan etik (Sjamsuhidajat dan Sabir, 2006).
2) Isi
Rekam Medis
Isi rekam medis untuk
pasien rawat inap sekurang-kurangnya memuat identitas pasien, pemeriksaan,
diagnosis/masalah, persetujuan tindakan medis (bila ada), tindakan/pengobatan
dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien (Sjamsuhidajat dan Sabir,
2006).
No comments:
Post a Comment
Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan guna perbaikan selanjutnya.