BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Korban dalam suatu tindak pidana,
dalam Sistim Hukum Nasional, posisinya tidak menguntungkan. Karena korban
tersebut, dalam Sistim Peradilan (pidana), hanya sebagai figuran, bukan sebagai
pemeran utama atau hanya sebagai saksi (korban). Dalam kenyataannya korban
suatu tindak pidana sementara oleh masyarakat dianggap sebagaimana korban
bencana alam, terutama tindak pidana dengan kekerasan, sehingga korban
mengalami cidera pisik, bahkan sampai meninggal dunia. Siapa yang mengganti
kerugian materi, yang diderita oleh korban ? misalnya biaya pengobatan, atau
jika korbannya sampai meninggal dunia, berapa kerugian yang diderita oleh pihak
keluarga korban, jika dihitung secara material ? misalnya, jika di hitung biaya
hidup dari lahir hingga di bunuh dan/atau ditambah apabila korban tersebut
sudah punya penghasilan.
Melihat uraian diatas, maka posisi
korban dalam suatu tindak pidana dapat dikatakan tidak mudah dipecahkan dari
sudut hukum. Masalah kepentingan korban dari sejak lama kurang begitu mendapat
perhatian, tetapi obyek perhatian ternyata masih lebih terfokus kepada
bagaimana memberikan hukuman kepada si pelaku tindak pidana, dan hal itu masih
melekat pada fenomena pembalasan belaka.
Dalam sejarah hukum Hamurabi, perhatiannya
lebih terfokus pada masalah aspek penologis dari hukum pidana, yakni bagaimana
supaya pelaku tindak pidana dapat dihukum sesuai dengan tindak pidana yang
terbukti dilakukannya, akibatnya masalah-masalah mengenai korban terluput dari
perhatian. Dalam hukum Hamurabi, hubungan antara korban dengan pelaku beserta
keluarganya sangat dominan dalam proses penyelenggaraan hukuman balas dendam.
Pelaksanaan hukum Hamurabi kemudian mengahadapi kendala manakala si pelaku atau
keluarganya mempunyai kedudukan tinggi dan berkekuatan mempertahankan diri,
maka pembalasan dendam tidak berjalan atau malahan berubah menjadi perlawanan
oleh pelaku terhadap si korban. Disini kedudukan korban menjadi tidak mendapat
perlindungan hukum dan keadilan yang semestinya, maka dicarilah jalan keluar
sebagai alternatif dengan restitusi jika sifatnya ke arah privat atau
kompensasi jika sifatnya ke arah publik.[1]
Dalam perkembangannya pandangan
masyarakat terhadap korban, korban dapat mempercepat terjadinya sutau tindak
pidana yang dilakukan oleh si pelaku, si pelaku berperan aktif dan si korban
berperan pasif, dalam hal ini korban dianggap sebagai ”korban yang bersalah”
dalam terjadinya tindak pidana, hal ini si pelaku menjadi fokus perhatian
reaksi sosial (peradilan), sedangkan korban mengalami hal kurang perhatian dan
akhirnya dianggap kurang penting dalam proses reaksi sosial, kecuali hanya
sekedar sebagai obyek bukti (saksi korban) dan bukan sebagai subyek[2] dalam Sistim Peradilan Pidana
di Indonesia.
Apalagi jika mengkaji lebih jauh
tentang Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapuan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga. Apabila si pelaku terbukti telah melakukan tindak pidana
kekerasan dan di jatuhi pidana denda, maka uang siapa yang di gunakan oleh
pelaku untuk membayar denda tersebut ? karena antara si pelaku dan korban masih
dalam status perkawinan (kecuali ada perjanjian kawin), dan denda tersebut di
bayar oleh si pelaku untuk negara bukan untuk korban. Dalam hal ini korban bisa
mengalami korban ke dua kali, yaitu korban secara pisik dan korban materi.
Menurut Pasal 27 ayat (1)
Undang-undang Dasar 1945 (UUD 45), yang menyatakan, bahwa :
”Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”
Dalam hal ini Negara berkomitmen
bahwa setiap warga negara harus di perlakukan baik dan adil sama kedudukannya
di dalam hukum, juga dalam pengertian apakah ia seorang tersangka atau korban
suatu tindak pidana, perikemanusiaan sebagai sendi nilai falsafah negara
Pancasila menjiwai seluruh keberadaan hukum di negara Indonesia, mulai dari UUD
45 hingga kepada peraturan perundang-undangan ke bawahnya.[3]
Sistim Peradilan melalui produk
peraturan perundang-undangan Indonesia, khususnya KUHAP (Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana yang diundangkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981)
yang menjadi dasar dari penyelenggaraan Sistim Peradilan Pidana, belum
benar-benar mencantumkan, terhadap apa yang di isyaratkan dalam UUD 45 dan
falsafah negara Pancasila tersebut.
Hal demikian memunculkan persoalan
klasik, bahwa sistem Peradilan Pidana sebagai basis penyelesaian perkara pidana
tidak mengakui eksistensi korban tindak pidana selaku pencari keadilan, seorang
korban tindak pidana akan menderita kembali sebagai akibat dari sistem hukum
itu sendiri, karena korban tindak pidana tidak bisa dilibatkan secara aktif
seperti halnya dalam beracara perdata, tidak dapat langsung mengajukan sendiri
perkara pidana ke pengadilan melainkan harus melalui instansi yang di tunjuk
(kepolisian dan kejaksaan).[4]
Sementara itu kepentingan korban
tindak pidana telah diwakili oleh alat negara yakni polisi dan jaksa sebagai
penyelidik, penyidik, penuntut umum, akan tetapi hubungan antara korban tindak
pidana di satu pihak dengan polisi dan jaksa di pihak lain adalah bersifat
simbolik, sementara itu hubungan antara terdakwa dengan penasehat hukumnya
secara prinsip adalah murni dalam hubungan hukum antara pengguna jasa dan
pemberi jasa yang di atur dalam hukum perdata.
Polisi dan jaksa bertindak untuk
melaksanakan tugas negara sebagai wakil korban tindak pidana dan atau
masyarakat, sedangkan penasehat hukum bertindak atas kuasa langsung dari
terdakwa yang bertindak mewakili terdakwa sendiri.[5]
Uraian di atas menunjukan bahwa
sudah selayaknya Sistem Peradilan Pidana, harus di kaji ulang dan harus melihat
kepentingan yang lebih luas, tidak hanya terfokus pada pembalasan bagi si
pelaku tindak pidana saja, akan tetapi juga kepentingan korban tindak pidana
sudah selayaknya di perhatikan. Perlindungan yang ada dalam KUHAP lebih banyak
melindungi hak asasi si pelaku tindak pidana dari pada hak asasi/kepentingan
korban tindak pidana, untuk hal tersebut dapat di kemukakan ketentuan-ketentuan
yang melindungi/memperhatikan kepentingan korban hanya mengenai praperadilan
dan gabungan gugatan ganti kerugian, degan kata lain sistem yang dianut oleh
KUHAP adalah retributive justice, yaitu suatu kebijakan yang titik
perlindungannya adalah si pelaku tindak pidana (offender oriented) bukan
restorative justice yang fokus kebijakan perlindungan terhadap korban
tindak pidana (victim oriented).[6]
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut
di atas, maka ada beberapa masalah yang perlu di bahas, sebagaimana tersebut di
bawah ini :
Bagaimana
kepentingan korban dalam aspek viktimologi dapat direalisasikan dalam kerangka
penegakan hukum pidana.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Aspek Viktimologi Terhadap Kepentingan Korban
Tindak Pidana.
Dilihat dari sudut Hak Asasi
Manusia (HAM), masalah kepentingan korban tindak pidana merupakan bagian dari
persoalan hak asasi manusia pada umumnya. Prinsip Universal sebagaimana termuat
dalam The Universal Declaration of Human Right (10 Desember 1948) dan The
International Covenant on Civil and Political Rights (16 Desember 1966)[7] mengakui bahwa semua orang
adalah sama terhadap undang-undang dan berhak atas perlindungan hukum yang sama
tanpa perlakuan atau sikap diskriminasi apapun. Setiap tindakan pelanggaran
hak-hak asasi yang di jamin oleh ketentuan peraturan perundang-undangan nasional.[8]
Dalam Pasal 9 ayat (5) dari Covenant
di atas di gariskan prinsip ganti rugi yang menggariskan bahwa ” anyone
who has been the victim of the unlawful arrest or detention shall have
enforceable right to compensation”.Rumusan-rumusan di atas kemudian
didukung dengan Konvensi Menentang Tindak Pidana Terorganisir Antarnegara (United
Nations Convention Against Transnational Organized Crime,2002), yang dalam
Pasal 25 memberikan prinsip bahwa Negaranegara hendaknya mengambil
langkah-langkah tepat dalam bentuk sarana-sarana memberikan bantuan serta
perlindungan kepada korban dari pelanggaran yang tercakup dalam konvensi.[9] Berbagai
prinsip yang digariskan di atas mempunyai nilai yang dapat mendukung aspek
viktimologis, terlebih dapat berfungsi sebagai landasan kuat bagi perumusan
hukum kelak bagi kepentingan korban-korban tindak pidana dalam
perumusan-perumusan tata pengaturan bagi setiap negara mengenai hak-hak korban
dari tindakan perlakuan pelanggaran hukum.[10]
Perkembangan di dalam hukum
nasional, awalnya tidak begitu responsif terhadap kepentingan korban. Tetapi
dengan berbagai konggres internasional yang membahas masalah viktim, tampaknya
perhatian terhadap korban tindak pidana mulai terangkat. Seperti diketahui
setidaknya ada 3 (tiga) pertemuan internasional mengenai tema yang sama, yakni
: Konggres di Geneva membahas ”new form and dimensions of crime;
Konggres di Caracas tahun 1980 menindak lanjuti tentang crime and the abuse
of power, offenses and offenders beyond the reach of law; lalu kemudian
konggres di Milan 1985 yang membicarakan victim of crime, which it connect
the new dimentions of criminality and crime prevention in the context of development,
convention and non conventional crime, illegal abuse of economic and public
power.[11]
Ketiga konggres internasional
tersebut cukup banyak memperhatikan segi korban yang berkaitan dengan
perkembangan baru tentang bentuk tindak pidana dan pembangunan hukum, hal mana
diperkirakan berkaitan dengan Declaration on Justice and Assistence for
Viktim.. Sehubungan dengan deklarasi tersebut, Negara diharapkan untuk
mengemban berbagai tanggung jawab memikirkan kompensasi seperti antara lain
membuat program kompensasi bagi korban seperti program asuransi.
Sementara itu ada pandangan, bahwa
Gambaran tentang dasar alasan negara memberikan kompensasi pada prinsipnya
bertolak pada :
- Kewajiban negara melindungi warga negaranya;
- Kemungkinan ketidakmampuan pelaku tindak pidana memberi ganti rugi yang cukup;
- Sosiologi hukum berpandangan bahwa tindak pidana yang timbul adalah andil kesalahan masyarakat atau tindak pidana sebagai anak kandung masyarakat.[12]
Dalam pandangan tersebut di atas,
perhatiannya masih merujuk pada si pelaku tindak pidana, dan hak-hak korban
belum dapat terealisir sepenuhnya, meskipun negara memberi kompensasi. kepada
korban, sementara hak-hak dari si pelaku masih dominan (pelaku yang dalam
ketidakmampuan untuk mengganti kerugian materi korban atas tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku). Melihat jangkauan sejarah hukum Indonesia, dapat
dijumpai berbagai kitab Undang-undang hukum. Salah satu diantaranya adalah yang
berasal dari zaman Majapahit, ialah yang disebut ”perundang-undangan Agama”.
Dalam Undang-undang ini terdapat pidana pokok berupa ganti kerugian atau ”panglisyawa”
atau ”patukusyawa”. Perundang-undangan dari Majapahit tersebut, apabila
diteliti, maka tampak adanya hubungan antara si pelaku dan korban, sebagaimana
beberapa contoh di bawah ini :
Pasal 56 : Jika seorang pencuri
mohon hidup, maka ia harus menebus pembebasannya sebanyak delapan tali, membayar
denda empat laksa kepada raja yang berkuasa, membayar kerugian (panglisyawa)
kepada orang yang kena curi dengan cara mengembalikan segala milik yang
diambilnya dua lipat.
Pasal 242 : Barang siapa naik
pedati, kuda atau kendaraan apapun, jika melanggar atau menginjak orang sampai
mati, ia sendiri atau saisnya dikenakan denda dua laksa oleh raja yang
berkuasa, ditambah uang ganti kerugian (pamidara) sebanyak delapan tali kepada
pemilik orang yang terlanggar itu, atau kepada sanak saudara orang yang mati
itu.
Pasal 19 : Barangsiapa membunuh
wanita yang tidak berdosa, harus membayar untuk wanita yang bersangkutan dua
lipat, dan dikenakan uang ganti kerugian (patukusyawa) empat kali.[13]
Dalam
undang-undang tersebut di atas, korban yang mengalami penderitaan atau kepedihan, yang di akibatkan
oleh perbuatan si pelaku, oleh undang-undang
tersebut diringankan dengan diberi kemungkinan penggantian kerugian. Apabila
melihat pengertian ”korban” sebagaimana disebutkan dalam undang-undang
tersebut, maka pengertian tersebut sangat luas, dan hal itu menimbulkan
kesulitan dalam pemberian penggantian kerugian. Perlu di beri pembatasan
siapakah dalam suatu perkara pidana di sebut ”korban” atau orang yang dirugikan
itu. Menurut pendapat pakar hukum pidana Indonesia:
Penetapan orang yang dirugikan itu
di dasarkan atas azas-azas hukum perdata dan kerugian itu ditimbulkan oleh
perbuatan seseorang yang oleh hukum pidana di sebut ”si pembuat” (dader) dari
suatu tindak pidana. Jadi dalam masalah ganti rugi dalam pidana harus di lihat
dalam hubungannya dengan ”tiga serangkai” : delik (tindak pidana) – pembuat –
korban. Masih pula harus di perhatikan, kerugian itu bersifat materiil dan
immateriil. Penggantian kerugian bersifat materiil tidak menimbulkan masalah,
tidak demikian dengan kerugian yang bersifat immateriil, yang berupa
kesusasahan, kecemasan, rasa malu dan sebagainya. Kerugian ini harus diganti
dengan wujud uang. Dalam hukum perdata hal ini sudah biasa, disitu di kenal apa
yang disebut uang duka.[14]
Dimensi
ganti rugi atas penderitaan korban dikaitkan dengan sistem restitusi, yang dalam
pengertian viktimologi adalah berhubungan dengan perbaikan atau restorasi atas
kerugian fisik, moril, harta benda dan hak-hak korban yang di akibatkan oleh
tindak pidana.[15] Karakter utama dari restitusi
ini berindikasi pertanggungan jawab pembuat atas tuntutan tindakan restitutif
yang bersifat pidana dalam kasus pidana, yang dalam pengertian viktimologi
adalah berhubungan dengan perbaikan atau restorasi atas kerugian fisik, moril,
harta benda dan hak-hak yang di akibatkan oleh tindak pidana. Berbeda dengan kompensasi,
bahwa kompensasi diminta atas dasar permohonan, dan jika di kabulkan harus di
bayar oleh masyarakat atau negara, sedangkan restitusi di tuntut oleh korban
agar di putus pengadilan dan jika diterima tuntutannya, harus di bayar oleh
pelaku tindak pidana itu. Karena hakikat perbedaan demikian masih belum di realisasikan
dalam kenyataan, maka sering kali tidak ada bedanya antara kedua pembayaran
itu, karena yang terpenting, perhatian terhadap korban lebih dahulu, kemudian
menyusul bentuk pembayaran atas kerugian korban.[16]
Dalam perkembangannya tentang
korban ini, telah dituangkan dalam Undang-undang nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi Dan Korban. Hal mana kepentingan korban di kuasakan pada
suatu Lembaga yang di bentuk oleh undang-undang yakni Lembaga Perlindungan
Saksi Dan Korban (LPSK). Kepentingan korban melalui LPSK tersebut tertuang
dalam Pasal 7 Undangundang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban sebagai barikut :
- Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa :
a.
hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi
manusia yang berat;
b.
hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi
tanggung jawab pelaku tindak pidana.
- Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi di atur dengan Peraturan Pemerintah.
Menurut Undang-undang tersebut
diatas, meskipun hak-hak dan kepentingan korban, telah dikuasakan pada LPSK,
namun kenyataannya dalam Sistem Peradilan Pidana, korban tetap sebagai figuran
atau hanya saksi (korban) dalam persidangan, karena hak-hak dan kepentingan
korban dalam peradilan (pidana) masih di wakili oleh Polisi dan Jaksa.
Perbincangan tersebut di atas yang
menyangkut berbagai kepentingan dari perlakukan-perlukan tindak pidana yang di
alami seseorang dirangkum secara sistematis ke dalam bidang kajian dari
viktimologi. Dalam hal ini viktimologi tidak saja berperan dalam bidang hukum
pidana, krimonologi, atau penologi, yakni ilmu mengenai penjatuhan hukuman,
tetapi juga para pakar sependapat bahwa diperoleh suatu kesepakatan bahwa
masalah korban manusia menjadi menarik perhatian di lihat dari sudut hukum
perdata18. Viktomologi
adalah suatu studi atau pengetahuan ilmiah yang mempelajari masalah pengorbanan
kriminal sebagai suatu masalah manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial.
Viktimologi merupakan bagian dari kriminologi, yang mempunyai obyek studi yang
sama, yaitu tindak pidana atau pengorbanan kriminal (viktimisasi kriminal) dan
segala sesuatu yang akibatnya, dapat merupakan viktimogen atau kriminogen.[17] Viktimologi
juga mempelajari sejauh mana pelaksaan peraturan tentang hak-hak korban telah dilaksanakan.
Aspek viktimologi dalam hukum nasional
dapat dilihat terutama dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
selain itu dengan telah dibentuknya Pengadilan tentang Hak Asasi Manusia (HAM),
yang telah melaksanakan secara efektif pada tahun 2002, yang didasarkan atas
Undangundang No. 26 Tahun 2000. Selanjutnya implementasi undang-undang tentang HAM
tersebut di tuangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2000 tentang
Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang
Berat. Sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 butir 3 yang berbunyi sebagai berukut :
”Korban adalah orang perorangan
atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun
emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau
perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang
berat, termasuk korban adalah ahli warisnya”
Dalam hal ini persoalannya adalah,
apakah masalah kepentingan korban tindak pidana biasa termasuk dalam persoalan
HAM, karena dalam ketentuan di Pasal 1 butir 3 tersebut hanya untuk korban
pelanggaran HAM berat saja, sedangkan korban-korban tindak pidana biasa tidak
disebutkan dalam ketentuan tersebut. Hal tersebut perlu ada kajian lebih
lanjut, karena apabila korban tindak pidana biasa bisa masuk dalam ketentuan tersebut,
maka korban tindak pidana biasa dapat masuk pula kedalam kompetensi peradilan
HAM.
B.
Bagaimana KUHAP Mengelementasi Kepentingan Hukum
Korban Tindak Pidana
Melihat uraian diatas, maka dapat
dilihat bahwa pengertian korban, adalah sangat luas, untuk itu dalam makalah
ini perlu di batasi tentang pengertian korban, yaitu, yang di maksud dengan
korban dalam pembahasan makalah ini adalah :
Korban dalam pengertian sebagai
akibat adanya tindak pidana (victim against crime).
Posisi korban dalam praktek dapat
dilihat dalam sudut pandang :
- Korban
dilihat dari pembentukan hukum;
- Korban
dilihat dari perilaku kriminal atau anti sosial;
- Korban
dilihat dari dalam lingkup HAM dan kesejahteraan sosial.
Apabila hendak mendapatkan posisi
korban tindak pidana, maka dapat dilihat dari pembagian posisi korban,
sebagaimana terinci sebagai berikut :
- Korban pembentukan hukum, yang terdiri dari :
a.
Korban dari over legaslation dan sweeping
legislation;
b.
Korban dari kekososngan atau kesesatan hokum;
- Korban Perilaku Kriminal/ Anti Sosial :
a.
Korban dari crime against the person;
b.
Korban dari against the property;
c.
Korban dari drug abuse;
d.
Korban dari sex offences/rape;
e.
Korban dari white collar crime/organized crime;
f.
Korban dari new crime forms;
- Korban dalam lingkup HAM dan kesejahteraan social :
a.
Korban pelanggaran HAM berat, yang terdiri dari :
1)
pelanggaran yang bersifat kriminal dan ada pula
yang bersifat fealusence;
2)
korban pelanggaran berat terbagi dalam genocide,
torture, enforced displacement, crime against women and children, extrajudicial
killing, schorsing rubbel;
b.
Korban dari pelanggaran HAM tidak langsung, seperti
keluarga, kelompok korban yang menderita tekanan jiwa atau kemiskinan;
c.
Korban pelanggaran kesejahteraan[18]
Lingkup bahasan dalam kelompok di
atas adalah mengenai korban dalam kelompok 2 (dua), yakni korban perilaku
kriminal/anti sosial, yang dapat diproses berdasarkan KUHAP sebagai landasan
operasional penyelenggaraan peradilan (pidana).ketentuan-ketentuan dalam
hubungannya dengan aspek viktimologi di dalam KUHAP secara relatif boleh di
katakan banyak. Apabila di catat maka pengaturan KUHAP dalam kaitannya dengan
viktimologi dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (10), ayat (22), Pasal 81, Pasal
82 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 95 ayat (1) hingga ayat (5), Pasal 96 ayat (1),
Pasal 98 ayat (1), Pasal 99 ayat (1), Pasal 100 ayat (1), Pasal 101, Pasal 274,
Pasal 275 yang nuansanya lebih banyak menyangkut ganti rugi.[19]
Apabila kita cermati mengenai
hak-hak korban yang tertuang di dalam KUHAP, maka di dapat pengaturan hak-hak
bagi korban sangat minim sekali di bandingkan dengan pengaturan tentang hak-hak
pelaku tindak pidana (tersangka/terdakwa/terpidana). Perlindungan hukum lebih
banyak di atur untuk pelaku tindak pidana, sebagaimana tampak dalam berbagai
Pasal tersebut di atas dibandingkan dengan kepentingan korban yang mengalami
penderitaan dari perbuatan pelaku tindak pidana.
Jika kita mencatat hak-hak korban
yang ada dalam KUHAP, maka terdapat hanya 4 (empat) aspek, yaitu :
1.
Hak untuk melakukan kontrol terhadap tindakan penyidik
dan penuntut umum, yakni hak mengajukan keberatan atas tindakan penghentian
penyidikan dan/atau penuntutan dalam kapasitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan.
Ini di atur dalam Pasal 109 dan Pasal 140 ayat (2) KUHAP;
2.
Hak korban dalam kedudukannya sebagai saksi,
sebagaimana di jumpai dalam Pasal 168 KUHAP;
3.
Hak bagi keluarga korban dalam hal korbanmeninggal
dunia, untuk mengijinkan atau tidak atas tindakan polisi melakukan bedah mayat
atau penggalian kubur untuk otopsi. Hak demikian di atur dalam Pasal 134 sampai
136 KUHAP;
4.
Hak menuntut ganti rugi atas kerugan yang di derita
dari akibat tindak pidana dalam kapasitasnya sebagai pihak yang dirugikan.
Dapat dijumpai dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP.[20]
Eksistensi dan posisi hukum korban
tindak pidana dalam sistem peradilan pidana, tidak menguntungkan bagi korban
tindak pidana, karena terbentur dalam problem yang mendasar yakni korban hanya
sebagai saksi (pelapor atau korban). Korban tidak termasuk dalam bagian dari
unsur yang terlibat dalam sistem peradilan pidana, tidak sebagaimana terdakwa,
polisi dan jaksa. Hal tersebut berakibat bagi korban tindak pidana tidak
mempunyai upaya hukum, apabila ia keberatan terhadap suatu putusan pengadilan,
misalnya banding atau kasasi apabila putusan pengadilan yang di pandang tidak
adil atau merugikan dirinya.[21]
Dalam kaitannya antara korban
dengan unsur yang terlibat dalam sistem peradilan pidana, beberapa pendapat
pakar hukum di warnai dengan pro dan kontra, terutama tentang ganti rugi korban
tindak pidana Pendapat yang kontra menyatakan, bahwa masuknya kepentingan
korban dalam proses tindak pidana akan mempersulit proses pidana dan tidak
sesuai dengan prinsip keadilan yang cepat, murah dan sederhana. Di samping itu
doktrin yang di ajarkan bahwa di bedakan antara hukum publik dan hukum privat
dimana hukum pidana dan hukum acara pidana adalah urusan negara bukan
individuindividu.
Tuntutan ganti rugi karena tindak
pidana di ajukan melalui prosedur perdata. Sementara pendapat yang pro
menyatakan bahwa masuknya kepentingan pihak yang dirugikan dalam proses pidana
merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi semua masyarakat , bukan
hanya mereka yang di tuduh melanggar hukum pidana, tetapi masyarakat yang
menjadi korban karena pelanggaran hukum pidana.[22]
Dalam Pasal 99 KUHAP, di rumuskan
tentang kerugian yang di timbulkan oleh tindak pidana yang dapat di tuntut
melalui prosedur pidana, yaitu hanya kerugian yang di derita korban yang
sifatnya perdata berupa biaya atau ongkos-ongkos yang telah dikeluarkan oleh
korban, sedangkan kerugian lainnya harus diajukan melalui gugatan perdata
biasa. Hal ini sesungguhnya tidak layak di bandingkan dengan penderitaan
korban. Kerugian materiil lainnya yang bukan biaya yang di keluarkan untuk
pemulihan dan kerugian immateriil yang justru lebih berat di alami oleh korban
tidak dapat di mintakan ganti rugi melalui prosedur pidana.[23]
Uraian di atas menunjukan bahwa
masalah kepentingan korban tindak pidana masih saja mendapat tantangan dari
sudut mekanisme peradilan pidana, karena pembuat undang-undang (kebijakan
legislatif)[24] sangat dipengaruhi oleh keinginan
aliran dalam masyarakat yang ingin lebih memprioritaskan perlindungan HAM
pelaku tindak pidana, sehingga melupakan asas keseimbangan dan pengayoman yang
menjadi prinsip dasar dari filsafat hukum Pancasila.[25]
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
- Perhatian hukum terhadap korban tindak pidana dalam KUHAP belum mendapat perhatian optimum, tetapi sebaliknya perhatian pengaturan hukum atas dasar penghormatan terhadap HAM dari pelaku tindak pidana cukup banyak;
- Pengertian mengenai kepentingan korban dalam kajian viktimologi, tidak saja hanya di pandang dari perspektif hukum pidana atau kriminologi saja, melainkan berkaitan pula dengan aspek keperdataan;
- Pandangan KUHAP terhadap hak-hak korban tindak pidana maih sangat terbatas dan tidak sebanding dengan hak-hak yang diperoleh pelaku tindak pidana.
B.
Saran
Melihat kepentingan korban yang
tidak seimbang dengan kepentingan pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan
pidana yang tertuang di dalam KUHAP, maka sudah saatnya KUHAP tersebut
direvisi, dan aspek-aspek viktimologi agar diakomodir dalam prinsip-prinsip
pengaturannya. Hal tersebut agar supaya hak-hak kepentingan korban tindak
pidana lebih berimbang dengan hak-hak kepentingan tersangka/terdakwa/pelaku
tindak pidana. Sehingga dengan demikian dalam Hukum Acara Pidana yang akan
datang (jus constituendum) akan ada pergeseran prespektif dari retributive
justice yang bersifat offender oriented ke sistem rostotarive
justice atau keadilan yang berisfat victim oriented, sesuai dengan
filsafat hukum Pancasila yang menganut prinsip ”pengayoman” dan ”keseimbangan
untuk semua pihak” anggota masyarakat pencari keadilan yang mempunyai
kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pengadilan (equality befor the law and
before the court).
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Gosita, Arif, Viktimologi
dan KUHAP, Jakarta, Akademika Presindo, 1986.
Hamzah, Andi, Sistem
Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi, Jakarta,
Pradnya Paramita, 1986.
Pornomo, Bambang, Hukum
dan Viktimologi, Bahan Kuliah Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Pidana
Universitas Padjadjaran Bandung 2001/2002.
Mudzakkir, Posisi
Hukum Korban Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana, Desertasi
Pengukuhan Guru Besar Hukum Pidana, Universitas Indonesia, Tanggal 6 April
2001.
Nawawi, Arif, Barda, Masalah
Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung, Citra
aditya Bakti, 2001.
Rahardjo, Satjipto,
Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, BPHN Departemen Kehakiman
R.I., 1989.
Soeparman, Parman,
Haji, Kepentingan Korban Tindak Pidana Dilihat Dari Sudut Viktimologi, Varia
Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXII No. 260 Juli 2007.
Sudarto, Hukum Dan
Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1986.
Undang-undang Dasar
!945. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Undang-undang Nomor13
Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.
KEPENTINGAN KORBAN DALAM
SISTEM PERADILAN PIDANA DARI
SUDUT PANDANG VIKTIMOLOGI
[1] Bambang Poernomo, Hukum Dan Viktimologi, bahan
kuliah pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Pidana Universitas Padjadjaran
Bandung, 2001/2002.
[2]
Poernomo,Bambang, Ibid.
[3]
Poernomo, Bambang , Ibid
[4] Mudzakir, Posisi Hukum Korban Tindak Pidana Dalam
Sistem Peradilan Pidana, Disertasi Pengukuhan Guru Besar di Universitas
Indonesia, tanggal 6 April 2001, Hal. 1
[5] Soeparman, Parman, Haji, Kepentingan Korban Tindak
Pidana Dilihat Dari Sudut Viktimologi, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun
Ke XXII No. 260 Juli 2007, Hal. 50.
[6] Soeparman, Parman, Haji, Ibid. Hal. 51
[7] The International Covenant on Civil and Political
Rights (16 Desember 1966), dikutip dari Soeparman, Parman, Haji, Ibid, hal. 51
[8] The Universal Declaration of Human Rights, United
Nations General Assembly, Desember, 10 th 1948, (Deklarasi Universal
tentang Hak-hak Asasi Manusia) di kutip dari Soeparman, Parman, Haji,Ibid.
[9] Soeparman, Parman, Haji, Ibid.
[10] Gosita, Arif : Viktimologi dan KUHAP, Jakarta,
Akadmika Presindo, 1986, hal. 14
[11] Gosita Arif : Ibid.
[12] Poernomo, Bambang, Op cit, hal. 11
[13] Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Bandung,
Alumni, 1986, Hal. 183-184, kutipan dari Slametmuljana, Perundang-undangan
Majapahit, Jakarta, 1967, Hal. 29.
[14] Sordarto, Ibid, hal. 186-187.
[15] Soeparman, Parman, Haji, Op cit, hal. 52.
[16] Poernomo, Bambang, Op cit, hal. 14.
[17] Poernomo, Bambang, Loc cit, hal. 16
[18] Soeparman, Parman, Haji, Op cit. hal. 53.
[19] Poernomo,
Bambang, Op cit, hal. 16
[20] Gosita, Arif, Op cit, hal. 18-20
[21] Mudzakkir, Op cit, hal. 76-77
[22] Mudzakkir, Ibid;
[23] Mudzakkir, Ibid, Hal. 70
[24] Soeparman, Parman, Op cit, hal. 57
[25] Nawawi, Arif, Barda, Masalah Penegakan Hukum &
Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung, Citra Aditya bakti, 2001, hal.
75.
0 comments:
Post a Comment
Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan guna perbaikan selanjutnya.